Bahagia itu (Masih) Sederhana, Katanya…
Setidaknya ada satu hal yang saya sadari. Buah-buah kebahagiaan
setiap orang terus berubah; seiring berjalannya waktu; seiring
bergulirnya kehidupan; seiring tubuh yang mengusang; seiring
berkembangnya kebijaksanaan dan kedewasaan.
Namun, apa pun perubahannya, bagi banyak orang kebahagiaan tetap
identik dengan terpenuhinya keinginan-keinginan. Rasa bahagianya
terkesan tetap sama, bentuk-bentuk keinginannya yang berbeda.
Premisnya masih serupa, bahwa setiap orang punya daftar
kebahagiaannya masing-masing. Objek kebahagiaan seseorang, belum tentu
memberikan kebahagiaan yang sama bagi orang lain. Perlukah kita
berpayah-payah memperjuangkan agar orang lain sadar bahwa mereka
sesungguhnya mengalami kondisi-kondisi ketidakbahagiaan selama ini
(menurut sudut pandang kita)? Debatnya akan menjadi luar biasa panjang.
Bisa bikin orang lupa masak, makan, istirahat, bekerja, kencing dan
buang air-air lainnya … menjalani kehidupan yang ada di depan mata.
Dan tetap saja, serendah-rendahnya rasa “bahagia” ialah yang
didapatkan dari ketidakbahagiaan atau penderitaan pihak lain. Buruk
memang, tetapi alamiah, dan oleh sebabnya, tetap akan terjadi.
Terkadang, malah pada/oleh diri kita sendiri.
Kebahagiaan tercapai karena mendapatkan/memperoleh/meraih.
Masalahnya, makin sederhana sebuah kebahagiaan, terasa makin sukar
dicapainya. Apa yang dahulu terkesan sepele–dan karenanya kerap
diabaikan–kini terasa begitu jauh, begitu dirindukan.
Banyak yang beranggapan bahwa ini hanyalah persoalan beda masa hidup
dan angka usia. Apa yang telah dialami dan dirasakan oleh yang “tua”
maupun tua, jauh lebih hakiki dibandingkan yang dialami dan dirasakan
oleh yang masih muda. Berangkat dari sini, banyak yang keliru dengan
terlampau menyederhanakannya menjadi “yang muda harus belajar menjadi
bijaksana lewat pengalaman dan perjalanan hidup yang tua-tua.” Padahal,
belum tentu, dan itu pun terkesan dipaksakan. Mau bagaimanapun juga, semua orang memiliki kehidupan yang berbeda.
Apa yang mereka hadapi, cara mereka menghadapi, pengalaman dan pelajaran
yang mereka dapatkan. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan
keniscayaan. Tak bisa dipaksakan sekalipun.
Kebahagiaan tak bisa dipaksakan.
Kalaupun seseorang mengabaikan sesuatu yang semestinya bakal jadi
kebahagiaan signifikan bagi dirinya sendiri, serta memilih sesuatu yang
lain dan lebih dangkal, ya … biarkan saja. Itulah proses belajar yang ia
jalani sendiri. Sebab penyadaran dan dorongan motivasi paling kuat yang
bisa menggerakkan seseorang ialah yang muncul dari dalam dirinya. Manakala seseorang sama sekali tak ingin melakukan sesuatu, walaupun
dipaksa sedemikian rupa tetap tidak akan ia kerjakan sepenuh hati.
Sebaliknya, begitu sebuah keinginan tumbuh dan mengakar kuat di dalam
hati, ia akan mengusahakannya sekuat tenaga, bisa berubah menjadi tekad,
bahkan ambisi maupun obsesi. Tak peduli halangan dan rintangan yang
bisa muncul, ia akan terus menerjang. Baru berhenti setelah kepayahan.
Sudah terbayang ujungnya. Tatkala berhasil mendapatkan yang
diinginkan (dan diupayakan lewat berbagai cara), ia pun merasa bahagia,
beserta perasaan-perasaan ikutan lainnya (kepuasan, kelegaan,
ketenangan).Iya. Demikianlah. Bahagia itu memang sederhana. Sesederhana
mendapatkan yang diinginkan. Kendati untuk bisa mendapatkan yang
diinginkan, pastinya tak sesederhana yang sekadar dibayangkan.
Semoga kita semua selalu mampu merasa tenteram.
Komentar
Posting Komentar