PRIA BIJAKSANA, KUCINTA
Di pagi itu ..
Aku memutuskan tuk memanjangkan libur dan tinggal semalam di rumah. Berangkat sebelum matahari terbit, melawan dinginnya angin pagi. Dengan si mata yg bengkak , menyambut sang fajar di ufuk timur.
Tetapi ceritaku, bukan proses aku berangkat ke kampus gimana, tapi bagaimana seorang laki laki menyadarkanku, bahwa dewasa itu tuntutan, bukan lagi sekedar pilihan.
Sosok sederhana dan bijaksana yg pernah ku kenal. Selalu merangkul jiwa ini dengan penuh kasih.
Yang selalu menunjukkan semuanya "baik-baik saja" meskipun sebenarnya didalam hati ia gelisah.
Singkat cerita, aku terbangun pas iqomah dikumandangkan, beralih ke dapur sesudahnya, sekedar membantu mamah untuk menyiapkan perintilan-perintilan buat di warung. Sehabis itu, mandiin si bocah tengil dan nganterin dia ke "mantan sekolah aku" ya TK. Pagi yg produktif bukan? Ku suka.
sampai rumah, kedua orang itu sudah duduk romantis di depan tv. Berbincang bincang, entah urusan apa.
Ku beralih menyiapkan "semua barang" untuk pergi ke kampus. Berlari kecil ke kamar mandi.
Seudahnya, ku membuka pintu kamar mandi, dan ada se-sosok wanita yg sedang tersenyum dan mata nya berkaca-kaca.
"Anaknya mamah udah gede ya, masa ga ada yg ngedeketin sih?"
Bingung harus nanggepin apa, emang udah biasa godaan nya mamah seputar masalah "jodoh".
"Mamah gatau sih, gini gini banyak yg ngantri loh hehe." Jawabanku sambil ngelengos pergi ke kamar.
Dandan selesai, dan waktunya ((pulang)) ke kos, kuliah.
Mereka masih duduk disana. Ku mampir.mencoba memasuki obrolan mereka.
Selang beberapa menit, bapak membuka arah pembicaraan, yg aku sadar ini masuk ke sesi serius.
"Teh, waktu itu terus berjalan, kita ga bisa milih untuk waktu berhenti, diulang apalagi. Jangan sia sia-in waktumu. Bapak bangga ndampingin kamu untuk beberapa masalah di tahun terakhir ini, ngelihat betapa kuatnya anak bapak, semangat pantang menyerah nya, bahkan bapak saja hampir putus asa. Sekarang apapun itu kamu syukuri teh, maksimalin usahamu, apapun itu kita sebagai orang tua mendukung sepenuhnya, apapun itu."
Ku membeku, membisu.
"Kamu udah besar, harus bisa memilih dalam hal apapun itu, dan harus bertanggung jawab atas pilihan itu. Harusnya, dari berbagai masalah yg sudah kamu hadapi, itu sudah menjadi pelajaran yg lengkap bagi hidupmu ke depannya. Bapak dan mamah tidak bisa selalu bisa dampingi kamu, ada saatnya besok bapak "estafet" kamu ke seseorang yg kamu pilih dan bapak percaya."
Semua petuah itu menghancurkan gengsi ku tuk tidak menitihkan air mata, refleks saja ku tenggelam di pelukan pria bijaksana itu. Tersedu, mengadu ke-pegalan hati yg sedang kurasa. Entah bapak seakan tau apa yg sedang kurasa saat itu.
Satu jam berlalu, mataku lebih sipit dari tadi pagi. Setidaknya perasaanku lebih lega dan leluasa.
Terimakasih jagoanku, untuk pagi itu. Rumah memang obat terampuh bagi sakitku. Apapun itu, bapak tetep pria yang paling ku cinta seumur hidupku.
Aku memutuskan tuk memanjangkan libur dan tinggal semalam di rumah. Berangkat sebelum matahari terbit, melawan dinginnya angin pagi. Dengan si mata yg bengkak , menyambut sang fajar di ufuk timur.
Tetapi ceritaku, bukan proses aku berangkat ke kampus gimana, tapi bagaimana seorang laki laki menyadarkanku, bahwa dewasa itu tuntutan, bukan lagi sekedar pilihan.
Sosok sederhana dan bijaksana yg pernah ku kenal. Selalu merangkul jiwa ini dengan penuh kasih.
Yang selalu menunjukkan semuanya "baik-baik saja" meskipun sebenarnya didalam hati ia gelisah.
Singkat cerita, aku terbangun pas iqomah dikumandangkan, beralih ke dapur sesudahnya, sekedar membantu mamah untuk menyiapkan perintilan-perintilan buat di warung. Sehabis itu, mandiin si bocah tengil dan nganterin dia ke "mantan sekolah aku" ya TK. Pagi yg produktif bukan? Ku suka.
sampai rumah, kedua orang itu sudah duduk romantis di depan tv. Berbincang bincang, entah urusan apa.
Ku beralih menyiapkan "semua barang" untuk pergi ke kampus. Berlari kecil ke kamar mandi.
Seudahnya, ku membuka pintu kamar mandi, dan ada se-sosok wanita yg sedang tersenyum dan mata nya berkaca-kaca.
"Anaknya mamah udah gede ya, masa ga ada yg ngedeketin sih?"
Bingung harus nanggepin apa, emang udah biasa godaan nya mamah seputar masalah "jodoh".
"Mamah gatau sih, gini gini banyak yg ngantri loh hehe." Jawabanku sambil ngelengos pergi ke kamar.
Dandan selesai, dan waktunya ((pulang)) ke kos, kuliah.
Mereka masih duduk disana. Ku mampir.mencoba memasuki obrolan mereka.
Selang beberapa menit, bapak membuka arah pembicaraan, yg aku sadar ini masuk ke sesi serius.
"Teh, waktu itu terus berjalan, kita ga bisa milih untuk waktu berhenti, diulang apalagi. Jangan sia sia-in waktumu. Bapak bangga ndampingin kamu untuk beberapa masalah di tahun terakhir ini, ngelihat betapa kuatnya anak bapak, semangat pantang menyerah nya, bahkan bapak saja hampir putus asa. Sekarang apapun itu kamu syukuri teh, maksimalin usahamu, apapun itu kita sebagai orang tua mendukung sepenuhnya, apapun itu."
Ku membeku, membisu.
"Kamu udah besar, harus bisa memilih dalam hal apapun itu, dan harus bertanggung jawab atas pilihan itu. Harusnya, dari berbagai masalah yg sudah kamu hadapi, itu sudah menjadi pelajaran yg lengkap bagi hidupmu ke depannya. Bapak dan mamah tidak bisa selalu bisa dampingi kamu, ada saatnya besok bapak "estafet" kamu ke seseorang yg kamu pilih dan bapak percaya."
Semua petuah itu menghancurkan gengsi ku tuk tidak menitihkan air mata, refleks saja ku tenggelam di pelukan pria bijaksana itu. Tersedu, mengadu ke-pegalan hati yg sedang kurasa. Entah bapak seakan tau apa yg sedang kurasa saat itu.
Satu jam berlalu, mataku lebih sipit dari tadi pagi. Setidaknya perasaanku lebih lega dan leluasa.
Terimakasih jagoanku, untuk pagi itu. Rumah memang obat terampuh bagi sakitku. Apapun itu, bapak tetep pria yang paling ku cinta seumur hidupku.
Komentar
Posting Komentar